jump to navigation

Ndolalak : Save our heritage!!! [Kesenian warisan kolonial] December 29, 2011

Posted by wijasena in Coretan.
Tags: , , ,
trackback

Tak bisa dipungkiri sebagian masyarakat Kabupaten Purworejo pasti sangat familiar dengan kesenian tari Ndolalak. Beberapa daerah kecamatan di Kabupaten Purworejo, tarian ini diberi nama yang berbeda-beda, misal daerah  Banyu’urip serta sebagian daerah pesisir pantai selatan terkenal dengan nama Jidur karena irama musiknya didominasi oleh alat musik jidur atau bedug. Di daerah utara yang notabene kontur tanahnya berbukit menyebut tarian Ndolalak dengan nama Angguk. Terlepas dari nama Ndolalak mempunyai sejarah tersendiri. Tarian ini lahir dari kolonialisme, ini lah yang membedakan dengan kesenian lainnya, membuat Tarian Ndolalak sangat identik dan tak ada duanya.
Berawal dari penjajahan Belanda yang menempatkan serdadu di Purworejo. Hidup di dalam tangsi-tangsi (barak) di sekitar kota Purworejo sebagai bentuk pertahanan karena Purworejo berbatasan langsung dengan Keraton Yogyakarta dan daerah pesisir selatan Pulau Jawa, inilah yang menyebabkan Belanda merasa harus memperkuat kedudukannya di Purworejo. Tekanan kehidupan di tangsi yang ketat membuat serdadu Belanda serta tekanan akibat peperangan yang sering kali terjadi menyebabkan saat serdadu-serdadu itu diberi kebebasan keluar tangsi yang dimanfaatkan untuk berfoya-foya, bercanda, menyanyi dengan penuh semangat dan kegembiraan. Dan disaat melewati perkampungan penduduk tingkah laku serdadu Belanda mengundang perhatian dari para penggembala kambing untuk menirukan tingkah polah. Karena ketidaktahuan bahasa dan irama, musik yang unik mereka hanya tahu lafal yang diucapkan oleh Serdadu Do La La. Akhirnya oleh seniman Purworejo diciptakan tarian terkenal dengan sebutan Tarian Ndolalak.
Dahulu tarian ini memang dimainkan oleh lelaki, namun sejak tahun 1976 karena mengikuti selera penikmat seni dan penonton dimainkan oleh wanita muda. Dinamika perkembangan tarian ini cukup modern. Jika sebelumnya alat musik yang dimainkan untuk mengiringi tarian ini kendang, terbang, jidur/bedug dalam perkembangannya ditambah dengan organ, drum sehingga menghasilkan irama dan melodi yang lebih ciamik. Kesenian tarian Ndolalak ini dibawakan secara berpasang-pasangan, rata – rata terdiri dari 12 penari. Kostum pun meniru serdadu Belanda, banyaknya atribut membuat semakin meriah, selempang, pet, kaca mata hitam dan tak lupa kaos kaki. Gerakannya pun sangat rampak, misalnya saat salah satu penari kesurupan (mendem-red) inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh penonton. Sangat menarik memang disamping seni ada nilai magicnya. Penari yang sesurupan tidak sadarkan diri kemudian akan menari dengan penuh semangat. Permintaan yang diluar logika disela-sela menari, makan serpihan kaca, bara api yang masih menyala, minum air bunga mawar saat inilah penonton semakin menikmati alunan musik dan tarian yang dibawakan oleh sang penari. Terkadang ada juga  penonton yang ikut kesurupan karena ikut menjiwai dan menghayati tarian saat menonton, dan itupun semakin membuat pertunjukan semakin bergairah.
Sebenarnya terkesan aneh memang, kota Purworejo yang notabene bersebelahan dengan Keraton Yogyakarta ini mempunyai kesenian unik seperti ini. Maklum stigma dan image dengan budaya keraton yang lemah lembut masih sangat melekat. Dengan penari wanita yang memakai celana pendek di atas lutut, gerakan lincah penari seakan-akan jauh dari seni keraton. Sehingga tak jarang ada yang bilang jika Ndolalak itu berasal dari Banyumas bukan dari Purworejo. Ndolalak adalah milik masyarakat Purworejo, dan merupakan warisan budaya sekaligus kenangan sejarah Bangsa Indonesia masa lalu, kesenian warisan kolonial.

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment